Essay
Sastra
Ketika Usia Senja Menanti dan Menyambut Kematian
pada Puisi “Teringat Rumah” karya Tjahyono Widarmanto
Teringat Rumah
Sepasang terompah telah lusuh
usang dan capek bicara dengan jalanan
lengang
dipaksa mabuk sepanjang malam
kenanglah kembali
sebuah alamat di kertas surat lusuh
dengan sungai mengalir pelan
seperti air mata
basuhlah kelelahanmu
sekaligus sendumu yang tak pernah luntur
berwarna tua
rebahlah, seperti roh
menanggalkan mantelnya
melambai-lambaikan tangan pada angin
ribut
sudah saatnya bayang-bayangmu
berbaring di situ di ruang
tengah yang hangat
ditemani secangkir kopi
sudahlah gelisahmu
angin malam tak baik untuk mata yang
renta
sejarah sudah cukup ditulis
dan namamu sudah terpahat di sebuah
prasasti!
Dalam
puisi “Teringat Rumah” karya Tjahyono Widarmanto ini penulis menciptakan sebuah cermin yang merefleksikan
suatu usia dan suatu waktu akan dijalani setiap insan di alam fana ini. Suatu
waktu yang datang menghampiri manusia di penghujung waktu. Suatu waktu itu
adalah usia senja atau tua. Penulis begitu filsuf dalam melukiskan seseorang
yang telah berselimut usia senja. Lukisan usia senja ini tergores dalam baris
pertama puisi ini
Sepasang terompah telah lusuh
Dari
baris pertama puisi ini pembaca dapat memahami bahwa usia renta menyambut
seorang manusia.
Penulis juga menggambarkan seorang
yang telah lelah meniti hidup di dunia ini. Seorang yang letih menapaki liku
kehidupan, hal ini tergambar dari penggalan puisi ini
Usang dan capek bicara dengan jalanan
yang lengang
Dipaksa mabuk sepanjang malam
Selain itu penulis juga memaparkan
usia senja yang hanya mengulang pahit manis kehidupan di sela nafasnya yang
renta seperti kutipan syair puisi ini
Kenanglah kembali
Sebuah alamat di kertas surat lusuh
Dengan sungai mengalir pelan
Dari kutipan syair puisi ini
seakan mengingatkan pada kita bahwa usia senja yang akan menghampiri kita
seperti bom waktu yang hanya bisa bernostalgia dengan lembaran kenangan masa
lalu dan hanya tarikan nafas menyambut panggilan Sang Khaliq.
Penulis juga memahat dengan
ciamik sebuah pahatan usia senja yang bersiap-siap menyambut kematian dengan
meninggalkan seluruh orang yang dicintainya juga melambaikan tangan pada ribuan
peristiwa pahit dan manis yang menemani langkahnya selama hidup. Pemahatan usia
senja yang bersiap menyambut kematian ini terpahat dalam syair puisi ini
Basuhlah kelelahanmu
Sekaligus sendumu yang tak pernah luntur
berwarna tua
Rebahlah, seperti roh
Menanggalkan mantelnya
Melambai-lambaikan tangan pada angin
ribut
Kata”Melambai-lambaikan tangan pada angin ribut” menggambarkan seseorang
yang mengucapkan selamat tinggal pada masalah yang menghampirinya dan bersiap
menyambut kehidupan yang lebih abadi.
Penulis juga menjabarkan seseorang yang berselimut usia senja yang
begitu bahagia menyambut kematian, karena kematian baginya seperti lorong waktu
yang mengantarkannya pada pertemuan termanis dengan Sang Khaliq. Penulis
menganalogikan pertemuan termanis dengan Sang Khaliq dengan diksi “Di ruang
tengah yang hangat ditemani secangkir kopi” seperti pada pengalan puisi ini
Sudah saatnya bayang-bayangmu
Berbaring di situ di ruang tengah yang
hangat
Ditemani secangkir kopi
Pada syair puisinya yang terakhir, penulis mengungkapkan seseorang yang
rela istirahat menatap dunia ini dan berjalan menuju kehidupan yang abadi.
Seperti ungkapan syair puisi ini
Sudahlah gelisahmu
Angin malam tak baik buat mata yang
renta
Sejarah sudah cukup ditulis
Dan namamu sudah terpahat di sebuah
prasasti!
Dari puisi ini kita dapat
memaknai makna yang tersirat dalam
judulnya “Teringat Rumah”, rumah dalam judul puisi ini tak sekedar rumah yang
menjadi tempat berkumpulnya raga kita bersama keluarga yang kita cintai
melainkan rumah yang menjadi tempat kita bertemu dengan Sang Pencipta Alam
semesta dan rumah ini kekal sekaligus abadi untuk kita singgahi setelah
Malaikat Izrail mencabut nyawa yang bersemayam dalam tubuh kita atas ijin Sang
Khaliq. Rumah itu adalah akhirat.
Malang,
13 Januari 2012
By:Media
Lely
0 komentar:
Posting Komentar