undefined
undefined


0 komentar


Essay Sastra


Ketika Usia Senja Menanti dan Menyambut Kematian pada Puisi “Teringat Rumah” karya Tjahyono Widarmanto

Teringat Rumah
Sepasang terompah telah lusuh
usang dan capek bicara dengan jalanan lengang
dipaksa mabuk sepanjang malam
                  kenanglah kembali
sebuah alamat di kertas surat lusuh
dengan sungai mengalir pelan
                  seperti air mata
basuhlah kelelahanmu
sekaligus sendumu yang tak pernah luntur berwarna tua
                   rebahlah, seperti roh
menanggalkan mantelnya
melambai-lambaikan tangan pada angin ribut
                  sudah saatnya bayang-bayangmu
                  berbaring di situ di ruang tengah yang hangat
                  ditemani secangkir kopi
sudahlah gelisahmu
angin malam tak baik untuk mata yang renta
sejarah sudah cukup ditulis
dan namamu sudah terpahat di sebuah prasasti!
            Dalam puisi “Teringat Rumah” karya Tjahyono Widarmanto ini penulis  menciptakan sebuah cermin yang merefleksikan suatu usia dan suatu waktu akan dijalani setiap insan di alam fana ini. Suatu waktu yang datang menghampiri manusia di penghujung waktu. Suatu waktu itu adalah usia senja atau tua. Penulis begitu filsuf dalam melukiskan seseorang yang telah berselimut usia senja. Lukisan usia senja ini tergores dalam baris pertama puisi ini
Sepasang terompah telah lusuh
            Dari baris pertama puisi ini pembaca dapat memahami bahwa usia renta menyambut seorang manusia.
            Penulis juga menggambarkan seorang yang telah lelah meniti hidup di dunia ini. Seorang yang letih menapaki liku kehidupan, hal ini tergambar dari penggalan puisi ini
Usang dan capek bicara dengan jalanan yang lengang
Dipaksa mabuk sepanjang malam
             Selain itu penulis juga memaparkan usia senja yang hanya mengulang pahit manis kehidupan di sela nafasnya yang renta seperti kutipan syair puisi ini
Kenanglah kembali
Sebuah alamat di kertas surat lusuh
Dengan sungai mengalir pelan
              Dari kutipan syair puisi ini seakan mengingatkan pada kita bahwa usia senja yang akan menghampiri kita seperti bom waktu yang hanya bisa bernostalgia dengan lembaran kenangan masa lalu dan hanya tarikan nafas menyambut panggilan Sang Khaliq.
               Penulis juga memahat dengan ciamik sebuah pahatan usia senja yang bersiap-siap menyambut kematian dengan meninggalkan seluruh orang yang dicintainya juga melambaikan tangan pada ribuan peristiwa pahit dan manis yang menemani langkahnya selama hidup. Pemahatan usia senja yang bersiap menyambut kematian ini terpahat dalam syair puisi ini
Basuhlah kelelahanmu
Sekaligus sendumu yang tak pernah luntur berwarna tua
Rebahlah, seperti roh
Menanggalkan mantelnya
Melambai-lambaikan tangan pada angin ribut
         Kata”Melambai-lambaikan tangan pada angin ribut” menggambarkan seseorang yang mengucapkan selamat tinggal pada masalah yang menghampirinya dan bersiap menyambut kehidupan yang lebih abadi.
        Penulis juga menjabarkan seseorang yang berselimut usia senja yang begitu bahagia menyambut kematian, karena kematian baginya seperti lorong waktu yang mengantarkannya pada pertemuan termanis dengan Sang Khaliq. Penulis menganalogikan pertemuan termanis dengan Sang Khaliq dengan diksi “Di ruang tengah yang hangat ditemani secangkir kopi” seperti pada pengalan puisi ini
Sudah saatnya bayang-bayangmu
Berbaring di situ di ruang tengah yang hangat
Ditemani secangkir kopi
         Pada syair puisinya yang terakhir, penulis mengungkapkan seseorang yang rela istirahat menatap dunia ini dan berjalan menuju kehidupan yang abadi. Seperti ungkapan syair puisi ini
Sudahlah gelisahmu
Angin malam tak baik buat mata yang renta
Sejarah sudah cukup ditulis
Dan namamu sudah terpahat di sebuah prasasti!
         Dari puisi ini kita  dapat memaknai  makna yang tersirat dalam judulnya “Teringat Rumah”, rumah dalam judul puisi ini tak sekedar rumah yang menjadi tempat berkumpulnya raga kita bersama keluarga yang kita cintai melainkan rumah yang menjadi tempat kita bertemu dengan Sang Pencipta Alam semesta dan rumah ini kekal sekaligus abadi untuk kita singgahi setelah Malaikat Izrail mencabut nyawa yang bersemayam dalam tubuh kita atas ijin Sang Khaliq. Rumah itu adalah akhirat.
                                                                                    Malang, 13 Januari 2012
                                                                                    By:Media Lely



0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post